Sabtu, 08 Januari 2011

Bidadari Island

Pulau Bidadari - Berwisata ke pulau biasanya identik dengan menghabiskan waktu dengan bermain ombak, snorkeling atau menyelam. Namun tidak begitu jika berwisata ke Kepulauan Seribu, tepatnya beberapa pulau yang terletak paling selatan, masuk wilayah Jakarta.


Tersebutlah Pulau Bidadari, pulau terdekat dari wilayah Jakarta kota yang masih menarik dikunjungi. Di pulau yang berjarak sekitar 15 km dari bibir ibukota itu ada pesona yang membuat orang betah di daratan kepulauan.
Dua lumba-lumba ramah dan benteng peninggalan Belanda membuat Pulau Bidadari masih menarik dikunjungi meski dirundung masalah pencemaran dari Jakarta. Pulau Bidadari ini adalah saksi bisu era peperangan zaman VOC. Di sana masih bisa dijumpai wisata sejarah dengan segala kisah dan peninggalan materialnya.


Namun, di darat itu pula wisatawan bisa menikmati rekreasi air yang tidak biasa. Jika Anda telah tiba di Pulau Bidadari pada pukul sembilan pagi maka segeralah menuju ke sisi selatan pulau. Berdekatan dengan area cottage terapung, tepatnya di pinggir pulau terdapat kolam yang dihuni dua mamalia laut yang berenang lincah di dalamnya.


Mia dan Yosi adalah dua lumba-lumba yang sejak setahun lalu menjadi bintang Pulau Bidadari. Rasanya pantas juga menyebut dua lumba-lumba betina itu sebagai bidadari bersirip pulau ini.


Dengan tubuh abu-abu yang langsing dan tingkah laku yang lucu, Mia dan Yosi adalah hewan laut yang memesona. Saat matahari mulai naik, duo lumba-lumba ini menyantap sarapan paginya. Seperti anak kecil, Mia dan Yosi kadang merajuk dan berulah untuk mendapatkan tambahan ikan segar dari sang pelatih.


Seperti pagi hari di pertengahan Maret ini, lumba-lumba asal Karimun Jawa itu dengan cerdik menyundul ember ikan di pinggir kolam hingga ikan-ikan layang dan kembung jatuh ke kolam dan, tentunya, berakhir di mulut mereka. "Mereka memang sangat pintar dan lucu seperti anak kecil saja," kata Winarno, pelatih yang sudah tiga tahun ini mendampingi Mia dan Yosi.


Bukan hanya membelai dan ikut memberi makan, pengunjung juga diperbolehkan masuk ke dalam kolam. Dengan membayar Rp150 ribu, selama setengah jam, pengunjung bisa merasakan serunya berada diliukan lumba-lumba berusia 18 tahun (Mia) dan 13 tahun itu. Bahkan jika mereka menyukai, Mia dan Yosi akan membuat Anda merasa seperti Jesse di film Free Willy. Seperti paus di film tersebut, duo lumba-lumba ini juga mampu melompat, meski hanya melompat melewati pembatas kolam.


Sambil terapi
Lebih dari sekadar memberi atraksi hiburan, kelincahan Mia dan Yosi sebenarnya merupakan terapi bagi penderita autis. "Dengan berenang dan bermain dengan lumba-lumba, anak autis belajar interaksi. Lalu berdasar penelitian di luar negeri, suara sonar lumba-lumba juga bisa merangsang syaraf yang mati," tutur Winarno.


Terapi autis dengan sonar lumba-lumba memang sudah cukup dikenal karena bisa mengubah jaringan tissu dan struktur sel manusia. Bahkan di sana seperti dijelaskan Winarno untuk terapi autis disediakan program dengan 10x pertemuan selama 5 hari.


Namun, diakui Winarno, peminat terapi ini berkurang jauh dibanding ketika tahun-tahun sebelumnya Mia dan Yosi dipelihara di SEA World, Ancol. "Sepertinya karena transportasi yang terbatas, jadi orang agak repot kalau mau ke sini," katanya.
Transportasi dengan kapal cepat yang nyaman memang baru tersedia di dermaga Marina, Ancol. Dengan kapal milik Pulau Bidadari itu transportrasi tersedia dalam dua jadwal yakni pukul 09.00 dan 18.00 WIB.


Pengelola Pulau Bidadari menawarkan paket dengan harga Rp 265 ribu untuk kapal pulang-pergi, makan siang dan soft drink. Namun Manajer Pulau Bidadari M. Husin Munir mengatakan pengunjung juga diperbolehkan datang menggunakan kapal umum dari Muara Angke. Kapal ojek dari pelabuhan itu rata-rata memberikan tarif Rp 20 ribu/orang untuk pulau-pulau terdekat.


Menara Martello
Setelah pagi bermain dengan Mia dan Yosi, maka sore hari di pulau seluas sekitar 7 hektare ini bisa dilewatkan dengan memutar balik waktu di Menara Martello. Menara yang terletak di timur pulau ini merupakan bagian dari benteng yang dibangun VOC pada 1850 untuk melindungi galangan kapal di Pulau Onrust, yang terletak di sebelah barat laut, dari gempuran pasukan Inggris.


Banyak bagian dari menara yang berdiameter sekitar 23 meter ini sudah rusak. Kerusakan bukan hanya karena waktu tapi karena gempuran gelombang tidal akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883.


Dari jejak-jejak kerusakan bisa dibayangkan betapa hebatnya gelombang tersebut hingga sebagian besar bagian atas benteng hilang. Di bagian bawahnya, beberapa lorong melingkar dengan banyak jendela masih cukup utuh.


Untuk acara tertentu, seperti jamuan makan khusus, benteng ini digunakan sebagai tempat jamuan. Penerangan temaram menggunakan obor menciptakan kesan benteng yang makin dramatis.


Wisata sejarah bisa dilanjutkan ke pulau-pulau di sekitar Pulau Bidadari, yang juga menjadi pulau pendukung untuk Pulau Onrust, yakni Pulau Cipir dan Kelor. Gugusan pulau-pulau ini dapat terlihat dari pantai Pulau Bidadari dan hanya membutuhkan waktu sekitar 7 menit dengan kapal untuk mencapai pulau-pulau itu.


Di Pulau Onrust, yang kini dijadikan Taman Arkeologi di bawah Dinas kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, lebih banyak peninggalan kehidupan abad 17 yang bisa dilihat. Ini bisa dimengerti karena pulau Onrust merupakan pusat kegiatan VOC di Kepulauan Seribu.


Pengunjung bisa melihat diantaranya makam, reruntuhan gudang dan rumah dokter yang kini dijadikan museum. Di pulau tetangganya, yakni Pulau Kelor juga terdapat sisa-sisa masa penjajahan tersebut. Dari Pulau Bidadari, pengunjung bisa menyewa kapal dengan tarif Rp50 ribu/orang untuk berkeliling pulau-pulau itu. Untuk wisata pulau yang bukan hanya wisata bahari maka Pulau Bidadari dan sekitarnya bisa jadi tujuan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer